Secuil pembicaraan antara dua orang sahabat Tikkos dan Salah yang berjumpa di bandara karena mereka memang akan pergi ke tujuan kota yang sama dengan menggunakan pesawat. Lalu pembicaraanpun berlangsung:
“Eh, dimana tadi kau beli ticket mu?” Kata Salah membuka pembicaraan.
“Tadi aku beli di Travel milik si Subandrio itu lho, kayaknya usaha travelnya sudah lumayan besar.” demikian kata Tikkos membalas pertanyaan Salah.
“Lho, kok ngga di travel tempat si Tukkis? Kan dia saudaramu semarga?” Tanya Salah menyelidik.
“Ah, kadang sama saudara ini payah kali. Nanti dianggapnya kita mau ngutang, sudah itu harganya pun dibuatnya mahal!” demikian kata Tikkos beralasan.
“Alaaah, kau ini gimana sih, masya usaha saudara sendiripun tak mau kau dukung, yang penting kan sama-sama mendapat keuntungan, kalau dia untuk komisinya ya wajarlah dan kaupun dapat jaminan dapat ticket kan jadi sama-sama diuntungkan? kalau dia maju, kan senang juga kau,” demikian kata Salah lebih menjelaskan.
“Ya sudahlah, memang berapa harga ticket mu dikasinya?” demikian Tanya Tikkos menyelidik.
“Harganya cuma 800 ribu rupiah, harga di Air-liner memang 750 ribu, kan wajar dia dapat untung 50 ribu,” demikian penjelasan Salah. Tikkos terdiam sejenak karena dia menyadari bahwa ticket yang dibelinya dari Subandrio Travel ternyata lebih mahal 100 ribu rupiah, padahal dia sudah cukup lama memesannya dan agak jauh pula lokasinya daripada Tukkis Travel. Karena Tikkos tidak bereaksi atas penjelasan Salah, lalu dia bertanya.
“Beraga harga ticketmu dikasi si Subandrio?” Tanya Salah menyelidik. Tikkos berhenti sejenak, lalu dia berkata.
“Kurang ajar itu si Subandrio pukimaknya itu. Mahal kali dikasinya harga sama aku. Masya harganya 900 ribu, padahal kau dapat harga cuma 800 ribu dari si Tukkis.” Demikian penjelasan Tikkos sambil mengomel-ngomel menggerutu.
Secuil pembicaraan antara Tikkos dan Salah tadi merupakan realita hidup yang sering terjadi di komunitas Batak di perantauan. Beratnya perjuangan hidup di perantauan apalagi di Jakarta memang harus dihadapi dengan segala daya upaya, baik pemikiran, kerja-keras, apalagi tidak didukung dengan permodalan yang cukup.
Sebenarnya sudah banyak modal yang dimiliki oleh pribadi-pribadi orang Batak seperti di Jakarta. Mereka punya daya juang yang tinggi. Mereka punya ketahanan mental untuk menerima beban berat. Tetapi sebagaimana yang banyak terdapat pada masyarakat pada umumnya, maka masyarakat Batak yang menggeliat di kehidupan non-formal juga mengalami kendala permodalan usaha, padahal disatu sisi sebenarnya mereka mempunyai modal hubungan komunitas yang besar, baik sebagai pasar, maupun permodalan apabila memang mampu dibuat untuk bersinergi.
Hampir tidak ditemukan ada bentuk-bentuk sinergi di dalam sebuah komunitas Batak kecuali hanya sebagai komunitas yang saling menjaga kemuliaan-harga diri (pride)-kultur secara pribadi-pribadi yang menjadi kebanggaan kelompok yang semu. Hampir tidak ditemukan bentuk-bentuk sinergi yang berorientasi untuk bersama-sama meningkatkan taraf hidup perekonomian keluarga. Kalaupun ada pribadi-pribadi dalam komunitas Batak yang berhasil dan sukses dalam kehidupan perekonomian keluarga, secara umum adalah hasil perjuangan pribadi yang tidak berkaitan dengan kelompok komunitas.
Oleh karena itu pada dasarnya pribadi-pribadi Batak adalah sebagai orang-orang yang tertutup (splendid) dalam sebuah komunitas yang tergambar seolah terbuka padahal sebenarnya sangat tertutup rapat. Oleh karena itu pula sampai saat ini komunitas kelompok Batak tidak dapat menjadi ukuran atau parameter acuan dalam membuat suatu proposal usaha yang layak jalan bila hanya mengandalkan komunitas kelompok sebagai salah satu ukuran pangsa pasar.
Sama halnya dengan peristiwa Tikkos yang sungkan untuk menjadi pangsa pasar bagi saudaranya si-Tukkis dan dia merasa lebih baik menjadi pangsa pasar dari si Subandrio yang orang Jawa bukan dari komunitasnya, walaupun kenyataannya dia harus menanggung rugi. Kalau peristiwa ini muncul karena pemikiran yang disengaja, maka orang Batak mengenal pepatah syirik “ndang di ho, ndang di au, tumagon tu begu” atau kalau dibuat dalam bahasa melayu “bukan untukmu, tak usah untukku, lebih baik untuk setan”. Ini adalah sikap yang sangat destruktif yang sampai saat ini masih marak berkembang di komunitas kelompok Batak.
Kalau pesan leluhur yang sangat dibanggakan oleh komunitas Batak yang bahkan menjadi salah satu falsafah hidup Bangsa Batak yang mengatakan “Manat mardongan tubu” sebenarnya bermakna ‘care = perduli’, bukan bermakna ‘berhati-hati’, terhadap teman semarga, tetapi dalam peristiwa pembicaraan antara Tikkos dan Salah, makna kearifan itu sudah menjadi “Manat mardongan Jawa” yang artinya ‘care terhadap teman Jawa’.
Filed under: MANAT MARDONGAN JAWA | 2 Comments »